Pages

Monday, January 5, 2015

Mengalah, Untuk yang Terbaik



Suasana pagi dirumah Fany selalu tenang. Tidak ada suara berisik riuh kesibukan, hanya suara gemericik air dari kolam ikan serta suara burung berkicau dari luar jendela. Kelihatannya memang menyenangkan, tenang dan damai, tapi tidak untuk Fany. “sarapannya udah siap non, kalo ga dimakan sekarang nanti non telat ke sekolah loh.” kata bi ani mengingatkan. “iya bi, ini aku udah rapih kok.” Fany lalu sarapan dan bersiap ke sekolah tanpa semangat.

Fany adalah gadis remaja 17 tahun yang bisa dibilang beruntung. Ya, memiliki keluarga sangat berkecukupan, anak semata wayang, wajah cantik dan pintar dalam urusan akademik adalah impian setiap anak remaja seusianya. Tapi Fany tidak berpikir seperti itu, baginya dia sangat tidak beruntung. Memiliki keluarga yang sibuk –hampir jarang berkumpul— dan tidak memiliki teman dari kecil adalah kelemahan Fany. Dari kecil, Fany selalu belajar dengan tekun, ikut les sana-sini mulai dari akademik sampai music, tekwondo, balet dan banyak lagi, membuatnya tidak punya waktu untuk bersosialisasi. Fany cenderung pendiam, bahkan teman di sekolahnya pun enggan untuk mengajaknya berteman. Satu-satunya hal yang membuat fany senang adalah menulis. Ya, dia bercita-cita menjadi penulis novel dan mengambil jurusan sastra saat kuliah nanti. Tapi mama-papa Fany menentang keras keinginannya, mereka berencana menyekolahkan Fany ke sekolah Hukum atau Kedokteran supaya Fany bisa sukses menjadi pengacara seperti Ayahnya, atau sukses menjadi Dokter gigi seperti Ibunya. Mereka berpikir menjadi penulis adalah hobi, bukan sesuatu yang dapat diandalkan untuk masa depan.

“berangkat ya pak.” Suruh Fany ke Pak Ratmo, supir keluarga yang setia mengantar Fany kemanapun dia pergi sejak kecil. Sambil memandang keluar jendela kaca mobil, Fany melamun tentang hari nya yang membosankan di sekolah, belum lagi pulang sekolah Fany harus mengikuti bimbingan belajar sampai malam supaya bisa diterima di fakultas kedokteran ternama. “kenapa sih mama sama ayah gapernah mau ngikutin kemauan aku, setiap orang kan punya cara yang berbeda untuk sukses.” Pikir Fany, kesal namun tidak dapat berbuat apa-apa.

--------------------------------------------------------------------------------

“Fany, mama dapet telepon dari guru kamu tadi siang, katanya kamu bolos les ya hari selasa kemarin? Mama kan udah bilang belajar yang rajin supaya kamu bisa lulus fakultas kedokteran.” sapa mama saat Fany baru sampai rumah. “maaf mah, fany capek kemarin.” Tanpa basa basi Fany langsung masuk kamar, “baru sampe udah dimarahin, gimana ga stress coba” fany berbicara sendiri menahan kesal. Tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu, Fany dengan malas membuka pintu kamarnya dan mama beranjak masuk. “Fany, mama udah bicara sama papa, tentang kuliah kamu nanti.” Fany sekejap tampak senang, mungkin mama sama papa akhirnya gaakan maksa aku lagi, pikir fany. “kalo nanti kamu ga bisa masuk fakultas kedokteran, papa akan ngedaftarin kamu di universitas Adelaide jurusan hukum.” Papar mama. “loh, itu kan di Australia mah, aku gamau kuliah jauh-jauh apalagi jurusan hukum, itu kan kemauan papa bukan aku.” Timpalnya, mulai marah. “fany, mama sama papa mau yang terbaik buat kamu, jadi penulis itu bukan masa depan. Kalo kamu suskes jadi pengacara atau dokter, masa depan kamu terjamin.” Tukas mama. Fany menghela napas, lagi-lagi argumen ini, pikirnya. “pokoknya kamu belajar yang rajin dari sekarang.” Tegas mama. Fany hanya bisa menurut dan kembali mengerjakan tugas dikamarnya.

Sebulan kemudian, hasil ujian pun keluar. Fany berhasil diterima di fakultas hukum di Adelaide. Papa dan mama Fany pun merasa senang dan bangga, tapi fany tidak. Karena ini bukan keinginannya akhirnya dia pun memberanikan diri untuk berbicara ke orang tuanya mengenai keinginannya sebagai penulis. “pah, aku pengen masuk jurusan sastra, bukan hukum. Aku mau jadi penulis. Dari dulu aku selalu nurutin omongan mama papa, sekarang gantian dong papa sama mama yang dengerin kemauan aku.” Pinta Fany, memohon. Tapi apadaya, kedua orang tua Fany tetap bersiteguh memaksa Fany untuk sekolah hukum."papa ga ngelarang kamu untuk nulis kok, tapi itu hobi Fany, kamu tetep harus sekolah  tinggi untuk mengejar ilmu, itu untuk kebaikan kamu juga." tegas papa.  Pada akhirnya, semua karangan dan cerita novel amatir buatan Fany hanya menjadi tumpukan kertas di kamarnya.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------

            6 tahun kemudian, buku yang diterbitkan Fany menjadi best seller di semua toko buku ternama. Tapi bukan cerita karangan atau fiksi, melainkan buku tentang kualitas hukum yang berlaku di Indonesia. Ya, pada akhirnya hobi Fany dan kemauan orang tua nya tersalurkan, bukan hanya sebagai penulis, Fany juga sukses menjadi ahli hukum. Hobi nya menulis tetap dilakukan, hanya saja kalau dia tidak menuruti kata-kata orangtuanya, mungkin fany tidak akan se-sukses sekarang. “mah, makasih ya. Aku ga nyesel kok ngikutin kemauan mama sama papa, kalo pada akhirnya aku masih bisa ngelakuin apa yang aku suka.” Kata fany kepada mama nya ketika mereka sedang makan siang bersama di sebuah restoran di Jakarta selatan. “kunci kesuksesan itu adalah selalu menuruti apa kata orang tua. Mama dulu bukannya maksa kamu, mama sama papa cuma mau yang terbaik buat kamu, kalau kamu dulu ga ngikutin saran mama, mama pasti sedih banget.” Tukas mama, bercanda sambil melanjutkan makan siang. Fany pun akhirnya mengerti arti mengalah untuk yang terbaik.

0 comments:

Post a Comment

 
Copyright 2012 Just the way I am :p. Powered by Blogger
Blogger by Blogger Templates and Images by Wpthemescreator
Personal Blogger Templates