Suasana pagi
dirumah Fany selalu tenang. Tidak ada suara berisik riuh kesibukan, hanya suara
gemericik air dari kolam ikan serta suara burung berkicau dari luar jendela.
Kelihatannya memang menyenangkan, tenang dan damai, tapi tidak untuk Fany. “sarapannya
udah siap non, kalo ga dimakan sekarang nanti non telat ke sekolah loh.” kata
bi ani mengingatkan. “iya bi, ini aku udah rapih kok.” Fany lalu sarapan dan
bersiap ke sekolah tanpa semangat.
Fany adalah gadis remaja 17 tahun yang bisa dibilang beruntung.
Ya, memiliki keluarga sangat berkecukupan, anak semata wayang, wajah cantik dan
pintar dalam urusan akademik adalah impian setiap anak remaja seusianya. Tapi
Fany tidak berpikir seperti itu, baginya dia sangat tidak beruntung. Memiliki
keluarga yang sibuk –hampir jarang berkumpul— dan tidak memiliki teman dari
kecil adalah kelemahan Fany. Dari kecil, Fany selalu belajar dengan tekun, ikut
les sana-sini mulai dari akademik sampai music, tekwondo, balet dan banyak
lagi, membuatnya tidak punya waktu untuk bersosialisasi. Fany cenderung
pendiam, bahkan teman di sekolahnya pun enggan untuk mengajaknya berteman.
Satu-satunya hal yang membuat fany senang adalah menulis. Ya, dia bercita-cita
menjadi penulis novel dan mengambil jurusan sastra saat kuliah nanti. Tapi
mama-papa Fany menentang keras keinginannya, mereka berencana menyekolahkan
Fany ke sekolah Hukum atau Kedokteran supaya Fany bisa sukses menjadi pengacara
seperti Ayahnya, atau sukses menjadi Dokter gigi seperti Ibunya. Mereka berpikir
menjadi penulis adalah hobi, bukan sesuatu yang dapat diandalkan untuk masa
depan.
“berangkat ya pak.” Suruh Fany ke Pak Ratmo, supir keluarga
yang setia mengantar Fany kemanapun dia pergi sejak kecil. Sambil memandang
keluar jendela kaca mobil, Fany melamun tentang hari nya yang membosankan di
sekolah, belum lagi pulang sekolah Fany harus mengikuti bimbingan belajar
sampai malam supaya bisa diterima di fakultas kedokteran ternama. “kenapa sih
mama sama ayah gapernah mau ngikutin kemauan aku, setiap orang kan punya cara
yang berbeda untuk sukses.” Pikir Fany, kesal namun tidak dapat berbuat
apa-apa.
--------------------------------------------------------------------------------
“Fany, mama dapet telepon dari guru kamu tadi siang, katanya
kamu bolos les ya hari selasa kemarin? Mama kan udah bilang belajar yang rajin
supaya kamu bisa lulus fakultas kedokteran.” sapa mama saat Fany baru sampai
rumah. “maaf mah, fany capek kemarin.” Tanpa basa basi Fany langsung masuk
kamar, “baru sampe udah dimarahin, gimana ga stress coba” fany berbicara
sendiri menahan kesal. Tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu, Fany dengan
malas membuka pintu kamarnya dan mama beranjak masuk. “Fany, mama udah bicara
sama papa, tentang kuliah kamu nanti.” Fany sekejap tampak senang, mungkin mama sama papa akhirnya gaakan maksa
aku lagi, pikir fany. “kalo nanti kamu ga bisa masuk fakultas kedokteran,
papa akan ngedaftarin kamu di universitas Adelaide jurusan hukum.” Papar mama.
“loh, itu kan di Australia mah, aku gamau kuliah jauh-jauh apalagi jurusan
hukum, itu kan kemauan papa bukan aku.” Timpalnya, mulai marah. “fany, mama
sama papa mau yang terbaik buat kamu, jadi penulis itu bukan masa depan. Kalo kamu
suskes jadi pengacara atau dokter, masa depan kamu terjamin.” Tukas mama. Fany
menghela napas, lagi-lagi argumen ini,
pikirnya. “pokoknya kamu belajar yang rajin dari sekarang.” Tegas mama. Fany hanya
bisa menurut dan kembali mengerjakan tugas dikamarnya.
Sebulan kemudian, hasil ujian pun keluar. Fany berhasil
diterima di fakultas hukum di Adelaide. Papa dan mama Fany pun merasa senang
dan bangga, tapi fany tidak. Karena ini bukan keinginannya akhirnya dia pun
memberanikan diri untuk berbicara ke orang tuanya mengenai keinginannya sebagai
penulis. “pah, aku pengen masuk jurusan sastra, bukan hukum. Aku mau jadi
penulis. Dari dulu aku selalu nurutin omongan mama papa, sekarang gantian dong papa
sama mama yang dengerin kemauan aku.” Pinta Fany, memohon. Tapi apadaya, kedua
orang tua Fany tetap bersiteguh memaksa Fany untuk sekolah hukum."papa ga ngelarang kamu untuk nulis kok, tapi itu hobi Fany, kamu tetep harus sekolah tinggi untuk mengejar ilmu, itu untuk kebaikan kamu juga." tegas papa. Pada akhirnya,
semua karangan dan cerita novel amatir buatan Fany hanya menjadi tumpukan
kertas di kamarnya.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
6 tahun kemudian, buku yang
diterbitkan Fany menjadi best seller di semua toko buku ternama. Tapi bukan
cerita karangan atau fiksi, melainkan buku tentang kualitas hukum yang berlaku
di Indonesia. Ya, pada akhirnya hobi Fany dan kemauan orang tua nya
tersalurkan, bukan hanya sebagai penulis, Fany juga sukses menjadi ahli hukum. Hobi
nya menulis tetap dilakukan, hanya saja kalau dia tidak menuruti kata-kata
orangtuanya, mungkin fany tidak akan se-sukses sekarang. “mah, makasih ya. Aku ga
nyesel kok ngikutin kemauan mama sama papa, kalo pada akhirnya aku masih bisa
ngelakuin apa yang aku suka.” Kata fany kepada mama nya ketika mereka sedang
makan siang bersama di sebuah restoran di Jakarta selatan. “kunci kesuksesan
itu adalah selalu menuruti apa kata orang tua. Mama dulu bukannya maksa kamu,
mama sama papa cuma mau yang terbaik buat kamu, kalau kamu dulu ga ngikutin
saran mama, mama pasti sedih banget.” Tukas mama, bercanda sambil melanjutkan
makan siang. Fany pun akhirnya mengerti arti mengalah untuk yang terbaik.